Rabu, 27 Juni 2012

CERPEN: Ke Lain Hati


KE LAIN HATI
Oleh: Iin Solihin
Segarnya hijau rerumputan. Tanaman perdu yang tumbuh subur. Bunga-bunga krisan warna-warni. Suara gemericik air terjun... Atau air sungaikah? 

Pokoknya surga, benar-benar surga. 
Aku tak akan pergi meninggalkan pulau ini selamanya. Tak ada tempat di dunia lain yang menandingi ketenangannya, kebebasannya, keindahannya, kegairahannya, juga pesonanya. Tidak di Bali, tidak di Papua, tidak di pulau Seribu, Kutai, dan tidak juga di Jakarta. Jakarta? Jakarta? Memangnya aku ada di mana sekarang? Bukan di Jakarta, kan? Trus, di mana dong?
“Mbak, Mbak Aby?”
Ada yang memanggilku. Rupanya ada yang mengenalku di pulau terpencil ini. Ah, aku tak suka itu. Lebih baik tidak kujawab saja biar dikiranya aku ini orang lain.
“Mbak Aby, sudah selesai semua laporannya. Mbak....”
Aduh... dia masih saja memanggilku. Aku, kan bukan Tabitha. Apa dia bilang? Laporan? Ha ha ha... Laporan apa lagi? Aku, kan sudah tidak lagi bekerja di kantor sialan itu.
“Mbak....”

Huhh! Kali ini dia mengguncang - guncangkan badanku. Sudah kubilang, AKU BUKAN TABITHA, KAU SALAH ORANG!
Kriiing...!
Sumpah! Aku benar-benar kaget. Ada telepon rupanya. Kubuka mata dengan sangat terpaksa. Kudengar sayup-sayup Andrisi menjawab telepon itu. Ya ampun, sudah jam berapa sekarang? Dan bisa-bisanya aku terlelap di sofa ini?
“Mbak Aby sedang istirahat, kelihatannya tidak bisa diganggu.”
“Sisi!” panggilku cepat. “Siapa itu?”
“Oh, Mbak sudah bangun?” katanya tergopoh sambil memijit nada sela dengan tangan kirinya. “Dari Mas Aldo.”
Reinaldo? Hmm... Cepat kuputuskan apakah aku harus bicara dengannya atau tidak. Aku sebenarnya sedang tidak ingin bicara dengan siapapun. Tapi suara Aldo begitu menggoda untuk kudengar. Aku benar-benar kecanduan oleh suara itu.
“Sini, saya mau bicara dengannya,” kataku berbisik.
“Oke. Mas Aldo, ini Mbak Abynya sudah bangun, mau bicara katanya.”
Aku mengangguk lemah pada Andrisi, mengisyaratkan terima kasih, dan dia boleh segera pergi. Andrisi  pun menghilang setelah menyerahkan gagang telepon padaku. Sedetik kupikirkan bahwa ia mungkin sudah sangat lelah dan ingin sekali pulang. Ah, nanti sajalah kuurus dia, sekarang waktu buat Aldo.
“Halo...,” kataku hampir berbisik. Aku sendiri kaget pada suaraku yang lemah. Terlalu lemah. Aku capek. Benar-benar capek.
“Ya ampun. Sayang, jam segini masih di kantor juga? Itu namanya menyiksa diri sendiri, Non?”
“Memangnya jam berapa, sih,” mataku melirik jam dinding persis di sebelah kiri  kepalaku. 11.15.
“Sebelas malam Non Aby...” Aku mau senyum, tapi bibirku terlalu kaku rasanya. Pantas saja Aldo selalu telat janjian denganku. Jam di dunianya tak ada satuan menitnya. “Mbok ya istirahat di rumah, pake baju tidur yang nyaman, di tempat tidur yang lega... bukannya pake blazer ketat. Sepatu hak tinggi. Trus duduk di sofa. Bikin badan kamu sakit aja.”
“Iya, iya,” sahutku kesal. “Tadi aku udah mau pulang, tapi liat sofa baru ini jadi pengen duduk dulu sambil minum cokelat hangat. Eh, taunya keterusan ketiduran.”

Aku agak bohong. Kejadian sebenarnya, aku memang tak berniat pulang sebelum tengah malam, karena pekerjaan belum tuntas. Jujur saja aku paling tak suka dikejar-kejar deadline, membuatku merasa berdisplin rendah dan keterlaluan. Aku akan menyelesaikan semua pekerjaan itu seminggu sebelumnya. 

Dan itu telah merampas kebebasan Andrisi, karena ia telah kuberdayakan habis-habisan. Biarlah, toh untuk kebaikannya juga. Selama ini aku selalu berusaha mendidik dia, bukan cuma memperkerjakannya. Dia harus bisa melakukan apa saja yang aku lakukan. Dia harus kuat, disiplin ketat, teliti, dan sabar. Dan sekarang aku menemukan banyak kemajuan padanya sejak pertama kali dia bekerja bersamaku. Padahal pertama kali bekerja dia sangat lamban dan sembrono. Bahkan kadang-kadang...
“Jadi mau aku jemput, nih?” kesadaranku pulih. Aku sedang bicara dengan Aldo.  Apa? Dia mau jemput aku?
“Aby...”
“Ehm. Iya, iya...” kataku tergesa.
“Okay, aku berangkat yah...”
“Eh, bukan. Maksudku nggak perlulah. Aku bisa pulang sendiri, kok. Lagian ada Sisi ini. Aku biasa ditemani dia. Rumahnya nggak terlalu jauh dari rumahku. Kami bisa pulang bareng,” sergahku setelah kuyakin ia serius mau menjeputku.
“Kamu yakin?” Suara Aldo terdengar prihatin.
“Ya, aku pulang ditemani Sisi aja.”
“Sekarang ya, jangan ditunda lagi. Urusan kantor tinggalin aja, kan bisa besok diterusin. Oke?”
“Hmm...”
“Pokoknya awas aja. Nanti aku cek di rumah apa kamu udah pulang.”
“Iya, iya!”
“Okay. Pulang ya, sayang...”
“Hmm.”
“Bye...”
“Bye...”
*****
“Sisi...” entah untuk keberapa kalinya aku memanggil gadis cantik berusia 23 tahun itu. Puluhan, mungkin juga ratusan.
“Ya, Mbak,” dia tergopoh-gopoh datang ke mejaku.
“Yang ini nggak beres benget, sih,” hardikku sambil mengacungkan lembaran-lembaran kertas. Andrisi mendekat dan mengambilnya dari tanganku.
Takut-takut dia bertanya, “Salahnya di mana, Mbak?”

Aku mengembuskan nafas kesal. Tapi aku tahu aku harus sabar menghadapi ini semua. Aku memang termasuk warga perfeksionis yang benci seratus persen dengan ketidaksempurnaan. Dan aku menyadari sepenuhnya, sebagian besar isi dunia ini tidak sempurna. Maka untuk kesekian kalinya juga kujelaskan masalahnya kepada Andrisi. Kuajari cara mengerjakan tugas dengan baik tapi efisien dari segi waktu.
Hari demi hari kujalani demikian. Gejolak-gejolak ketegangan di kantor, gairah menggelegak tiap kali aku memulai pekerjaan yang baru di pagi hari. Menyetir mobil baru dengan ketergesaan, memencet angka-angka di lift. Tersenyum ramah membalas sapaan “Pagi Bu!” di setiap tempat yang kulewati. 

Aku cinta pekerjaan ini. Benar-benar cinta. Aku suka duduk di belakang mejaku, dengan monitor LCD wide screen 10 senti dari hidungku. Jari-jariku di gagang telepon, atau sambil berbicara dengan partner bisnis lewat bluetooth. Tak pernah absen mengikuti meeting mingguan bersama para CEO. 

Kerap aku sibuk bekerja sembari membuka e-mail bisnis maupun e-mail pribadi yang selalu memenuhi inbox. Ikut nimbrung di milis alumni yang selalu menyajikan kejutan-kejutan. Apakah gosip terkini seputar selebritis, atau ada teman alumni yang  mengirim undangan pernikahan melalui milis dengan tujuan utama penghematan. Tapi keseringannya, sih melancarkan aksi perintah-perintah kerja pada Andrisi, sekretaris setiaku.
Aku tak pernah bisa menebak, dia setia padaku atau pada profesinya. Pada perusahaan ini, atau bahkan pada uang gajinya. Atau bisa jadi setia pada masa depannya. Yang jelas aku mulai berusaha untuk tidak memikirkannya lagi sejak saat itu. Saat aku kerumahnya di suatu pagi di hari Minggu, sekedar membawakannya sekotak besar coklat asli Swiss, sebagai tanda penghargaanku padanya karena ‘kesetiaannya’ selama ini. 

Dan aku tak pernah menyangka detik itu, ketika aku langsung masuk ke ruang tamunya dengan kesan persahabatan yang akrab -- lagipula dia tak pernah mengunci pintu depan – cara pandangku terhadap hidup ini berubah total. Berubah 180 derajat! Mungkin semua yang kukerjakan, yang kuperjuangkan memang bukan hal sebenarnya yang aku harapkan.
Entah apa yang kupikirkan ketika di kantor itu aku merasa diriku kuda betina yang harus berlari kencang. Membawa beban berat di pundak, harus menyeberangi sungai. Mendaki gunung. Melintasi lautan. Berlari dan terus berlari. Entah apa yang kucari waktu itu.
Namun kini,  ternyata waktu terasa begitu jauh di belakangku. Seolah itu semua peristiwa berabad-abad yang lalu. Yang ada dihadapanku sekarang adalah seorang Sisi, sekretaris sekaligus murid kesayanganku. Seorang gadis sebelas tahun di bawahku. Gadis yang menjadi objekku dalam rangka eksperimen misi mengubah orang lain, kini sedang ada di pelukan Aldo! 

Reinaldo. Pria bersuara lembut itu. Oh, dia pemberi semangatku --  alasanku untuk tidak menyerah selama ini – mereka berdua sedang berpelukan di sofa itu, di hadapan televisi berlayar super lebar. Tertawa mesra. Nonton film romantiskah?

Aku terpaku. Terpana. Jantungku seperti berhenti berdetak. Kurasakan nafasaku mulai tersengal. Oh, mereka tidak melihatku. Aku juga tak ingin mereka melihatku saat ini. Kalau begitu aku harus pergi. Nafasku benar-benar terasa sesak berada di rumah  yang panas ini. Benar-benar panas dan membuatku mandi keringat.

Bergegas aku keluar rumah. Kotak coklat  kulempar entah ke mana. Aku harus segera enyah dari sini. Harus! Aku menuju tempat mobilku diparkir, dan mulai mengemudikannya. Aku tak tahu mau pergi ke mana. Hatiku benar-benar kalut. Tetapi  aku harus berpikir. Aku harus mendapat penjelasan tentang semua ini.

Aku tak tahu apakah aku membenci Sisi, Aldo, atau bahkan membenci diriku sendiri. Kurasa Sisi harus berhenti dari pekerjaannya yang sekarang. Aku tak akan membiarkannya menerima telepon-telepon dari Aldo di ruangan yang sama dengan tempat kuberada.
Aku harus memecatnya. Atau mungkin Aldo pun harus kuusir jauh-jauh dari kedekatannya denganku selama ini. Lebih baik kami putus. Lebih baik kami bubaran saja.Ya, ya, itulah yang akan kulakukan dan semua masalah ini akan beres. Atau...

Tidak! Jangan sampai memikirkan kemungkinan ketiga. Yaitu bahwa akulah yang harus berhenti dari pekerjaanku. Aku harus mampu mengusir semua kesibukanku, memecat belenggu waktu kerjaku. Lalu kembali utuh bersama Aldo. Melepaskan rantai besi di kaki Sisi, membiarkannya lepas dari cengkramanku.
Apakah waktu bisa kuulangi dan kuperbaiki supaya peristiwa hari ini tak pernah terjadi? Bagaimana jadinya kalau aku berhenti bekerja dari dulu-dulu? Ah, aku tak mampu berpikir lagi. Aku harus pergi ke pulauku yang indah. Pulau terpencilku, yang lebih elok dari Bali, lebih liar dari Papua, lebih eksotik dari kepulauan seribu.
“Mbak, Mbak Aby... Udah jam setengah dua, Mbak.”
Eh, Sisi? Mana Aldo? Aku sudah bukan di pulauku lagi rupanya. Aku di kantor. Aku kan, harus berhenti dari pekerjaanku sekarang. Ya, aku sudah memutuskannya.

“Sisi,” suaraku mulai serak. “Kamu setuju nggak kalau kita berdua ambil cuti sebulan? Nanti saya pikirkan apa saya akan melanjutkan pekerjaan ini atau mencari pekerjaan lain saja, sementara tugas-tugas ini saya serahkan kepada orang lain. Bisa padamu atau siapa saja.”
“Mbak ini ngomong apa, sih? Cuti? Berhenti kerja? Mbak ngelantur, ah.”
“Enggak, saya serius. Pokoknya mulai sekarang saya berhenti mengatur-ngatur hidupmu. Kamu bebas.”

Sisi melongo tak percaya. Atau tak mengerti?
Aku tersenyum kaku. “Udah deh, sekarang kita pulang aja. Semua laporan itu lupakan saja dulu. Masih ada esok hari. Tapi kalau mau cuti, kita bisa atur orang lain yang mengerjakannya sementara.”

Andrisi menatapku heran. Mungkin dia pikir aku belum betul-betul bangun dari tidurku. Kamu salah, Andrisi! Aku sudah bangun dari tidur panjangku.
Kriiing...!

Andrisi hendak bergegas mengangkat gagang telepon, tapi aku melarangnya. “Biar, biar saya yang jawab langsung. Kamu siap-siaplah pulang.”
Dia kelihatan mau membantah, tapi perintahku tak pernah dilawannya.
Kriiing...!
“Ya...”
“Alo sayang, bosmu udah pulang belum, sih? Dia memang nggak berperasaan menyiksa kamu lembur sampe jam segini. Kamu tabah aja ya. Aku tetep sayang sama kamu. Jangan sedih, ya. Sekarang aku mau bicara sama dia, supaya dia nggak curiga...” kepalaku mendadak pusing. Kurasa aku akan pingsan. Itu suara Reinaldo!
Aldo-ku. Tapi suaranya begitu mesra mengira ia bicara pada Andrisi! (*)
*****
Bogor, Juni 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar