KE LAIN HATI
Oleh: Iin Solihin
Segarnya hijau rerumputan. Tanaman perdu yang tumbuh
subur. Bunga-bunga krisan warna-warni. Suara gemericik air terjun... Atau air
sungaikah?
Pokoknya surga, benar-benar surga.
Aku tak akan pergi meninggalkan pulau ini selamanya. Tak
ada tempat di dunia lain yang menandingi ketenangannya, kebebasannya,
keindahannya, kegairahannya, juga pesonanya. Tidak di Bali, tidak di Papua,
tidak di pulau Seribu, Kutai, dan tidak juga di Jakarta. Jakarta? Jakarta?
Memangnya aku ada di mana sekarang? Bukan di Jakarta, kan? Trus, di mana
dong?
“Mbak, Mbak Aby?”
Ada yang memanggilku. Rupanya ada yang mengenalku di
pulau terpencil ini. Ah, aku tak suka itu. Lebih baik tidak kujawab saja biar
dikiranya aku ini orang lain.
“Mbak Aby, sudah selesai semua laporannya. Mbak....”
Aduh... dia masih saja memanggilku. Aku, kan bukan
Tabitha. Apa dia bilang? Laporan? Ha ha ha... Laporan apa lagi? Aku, kan sudah
tidak lagi bekerja di kantor sialan itu.
“Mbak....”
Huhh! Kali ini dia mengguncang - guncangkan badanku.
Sudah kubilang, AKU BUKAN TABITHA, KAU SALAH ORANG!
Kriiing...!
Sumpah! Aku benar-benar kaget. Ada telepon rupanya.
Kubuka mata dengan sangat terpaksa. Kudengar sayup-sayup Andrisi menjawab
telepon itu. Ya ampun, sudah jam berapa sekarang? Dan bisa-bisanya aku terlelap
di sofa ini?
“Mbak Aby sedang istirahat, kelihatannya tidak bisa
diganggu.”
“Sisi!” panggilku cepat. “Siapa itu?”
“Oh, Mbak sudah bangun?” katanya tergopoh sambil memijit
nada sela dengan tangan kirinya. “Dari Mas Aldo.”
Reinaldo? Hmm... Cepat kuputuskan apakah aku harus bicara
dengannya atau tidak. Aku sebenarnya sedang tidak ingin bicara dengan siapapun.
Tapi suara Aldo begitu menggoda untuk kudengar. Aku benar-benar kecanduan oleh
suara itu.
“Sini, saya mau bicara dengannya,” kataku berbisik.
“Oke. Mas Aldo, ini Mbak Abynya sudah bangun, mau bicara
katanya.”
Aku
mengangguk lemah pada Andrisi, mengisyaratkan terima kasih, dan dia boleh
segera pergi. Andrisi pun menghilang
setelah menyerahkan gagang telepon padaku. Sedetik kupikirkan bahwa ia mungkin
sudah sangat lelah dan ingin sekali pulang. Ah, nanti sajalah kuurus dia,
sekarang waktu buat Aldo.
“Halo...,”
kataku hampir berbisik. Aku sendiri kaget pada suaraku yang lemah. Terlalu
lemah. Aku capek. Benar-benar capek.
“Ya ampun. Sayang, jam segini masih di kantor juga? Itu
namanya menyiksa diri sendiri, Non?”
“Memangnya jam berapa, sih,” mataku melirik jam dinding
persis di sebelah kiri kepalaku. 11.15.
“Sebelas malam Non Aby...” Aku mau senyum, tapi bibirku
terlalu kaku rasanya. Pantas saja Aldo selalu telat janjian denganku. Jam di
dunianya tak ada satuan menitnya. “Mbok ya istirahat di rumah, pake baju tidur
yang nyaman, di tempat tidur yang lega... bukannya pake blazer ketat. Sepatu
hak tinggi. Trus duduk di sofa. Bikin badan kamu sakit aja.”
“Iya, iya,” sahutku kesal. “Tadi aku udah mau pulang,
tapi liat sofa baru ini jadi pengen duduk dulu sambil minum cokelat hangat. Eh,
taunya keterusan ketiduran.”
Aku agak bohong. Kejadian sebenarnya, aku memang tak
berniat pulang sebelum tengah malam, karena pekerjaan belum tuntas. Jujur saja
aku paling tak suka dikejar-kejar deadline,
membuatku merasa berdisplin rendah dan keterlaluan. Aku akan menyelesaikan
semua pekerjaan itu seminggu sebelumnya.
Dan itu telah merampas kebebasan Andrisi, karena ia telah
kuberdayakan habis-habisan. Biarlah, toh untuk kebaikannya juga. Selama ini aku
selalu berusaha mendidik dia, bukan cuma memperkerjakannya. Dia harus bisa
melakukan apa saja yang aku lakukan. Dia harus kuat, disiplin ketat, teliti,
dan sabar. Dan sekarang aku menemukan banyak kemajuan padanya sejak pertama
kali dia bekerja bersamaku. Padahal pertama kali bekerja dia sangat lamban dan
sembrono. Bahkan kadang-kadang...
“Jadi mau aku jemput, nih?” kesadaranku pulih. Aku sedang
bicara dengan Aldo. Apa? Dia mau jemput
aku?
“Aby...”
“Ehm. Iya, iya...” kataku tergesa.
“Okay, aku berangkat yah...”
“Eh, bukan. Maksudku nggak perlulah. Aku bisa pulang
sendiri, kok. Lagian ada Sisi ini. Aku biasa ditemani dia. Rumahnya nggak
terlalu jauh dari rumahku. Kami bisa pulang bareng,” sergahku setelah kuyakin
ia serius mau menjeputku.
“Kamu yakin?” Suara Aldo terdengar prihatin.
“Ya, aku pulang ditemani Sisi aja.”
“Sekarang ya, jangan ditunda lagi. Urusan kantor
tinggalin aja, kan bisa besok diterusin. Oke?”
“Hmm...”
“Pokoknya awas aja. Nanti aku cek di rumah apa kamu udah
pulang.”
“Iya, iya!”
“Okay. Pulang ya, sayang...”
“Hmm.”
“Bye...”
“Bye...”
*****
“Sisi...” entah untuk keberapa kalinya aku memanggil gadis
cantik berusia 23 tahun itu. Puluhan, mungkin juga ratusan.
“Ya, Mbak,” dia tergopoh-gopoh datang ke mejaku.
“Yang ini nggak beres benget, sih,” hardikku sambil
mengacungkan lembaran-lembaran kertas. Andrisi mendekat dan mengambilnya dari
tanganku.
Takut-takut dia bertanya, “Salahnya di mana, Mbak?”
Aku mengembuskan nafas kesal. Tapi aku tahu aku harus
sabar menghadapi ini semua. Aku memang termasuk warga perfeksionis yang benci
seratus persen dengan ketidaksempurnaan. Dan aku menyadari sepenuhnya, sebagian
besar isi dunia ini tidak sempurna. Maka untuk kesekian kalinya juga kujelaskan
masalahnya kepada Andrisi. Kuajari cara mengerjakan tugas dengan baik tapi
efisien dari segi waktu.
Hari demi hari kujalani demikian. Gejolak-gejolak
ketegangan di kantor, gairah menggelegak tiap kali aku memulai pekerjaan yang
baru di pagi hari. Menyetir mobil baru dengan ketergesaan, memencet angka-angka
di lift. Tersenyum ramah membalas sapaan “Pagi Bu!” di setiap tempat yang
kulewati.
Aku cinta pekerjaan ini. Benar-benar cinta. Aku suka
duduk di belakang mejaku, dengan monitor LCD wide screen 10 senti dari
hidungku. Jari-jariku di gagang telepon, atau sambil berbicara dengan partner
bisnis lewat bluetooth. Tak pernah absen mengikuti meeting mingguan
bersama para CEO.
Kerap aku sibuk bekerja sembari membuka e-mail bisnis
maupun e-mail pribadi yang selalu memenuhi inbox. Ikut nimbrung di milis
alumni yang selalu menyajikan kejutan-kejutan. Apakah gosip terkini seputar
selebritis, atau ada teman alumni yang
mengirim undangan pernikahan melalui milis dengan tujuan utama penghematan.
Tapi keseringannya, sih melancarkan aksi perintah-perintah kerja pada Andrisi,
sekretaris setiaku.
Aku
tak pernah bisa menebak, dia setia padaku atau pada profesinya. Pada perusahaan
ini, atau bahkan pada uang gajinya. Atau bisa jadi setia pada masa depannya.
Yang jelas aku mulai berusaha untuk tidak memikirkannya lagi sejak saat itu.
Saat aku kerumahnya di suatu pagi di hari Minggu, sekedar membawakannya sekotak
besar coklat asli Swiss, sebagai tanda penghargaanku padanya karena
‘kesetiaannya’ selama ini.
Dan
aku tak pernah menyangka detik itu, ketika aku langsung masuk ke ruang tamunya
dengan kesan persahabatan yang akrab -- lagipula dia tak pernah mengunci pintu
depan – cara pandangku terhadap hidup ini berubah total. Berubah 180 derajat!
Mungkin semua yang kukerjakan, yang kuperjuangkan memang bukan hal sebenarnya
yang aku harapkan.
Entah
apa yang kupikirkan ketika di kantor itu aku merasa diriku kuda betina yang
harus berlari kencang. Membawa beban berat di pundak, harus menyeberangi
sungai. Mendaki gunung. Melintasi lautan. Berlari dan terus berlari. Entah apa
yang kucari waktu itu.
Namun kini,
ternyata waktu terasa begitu jauh di belakangku. Seolah itu semua
peristiwa berabad-abad yang lalu. Yang ada dihadapanku sekarang adalah seorang
Sisi, sekretaris sekaligus murid kesayanganku. Seorang gadis sebelas tahun di
bawahku. Gadis yang menjadi objekku dalam rangka eksperimen misi mengubah orang
lain, kini sedang ada di pelukan Aldo!
Reinaldo. Pria bersuara lembut itu. Oh, dia pemberi
semangatku -- alasanku untuk tidak
menyerah selama ini – mereka berdua sedang berpelukan di sofa itu, di hadapan
televisi berlayar super lebar. Tertawa mesra. Nonton film romantiskah?
Aku terpaku. Terpana. Jantungku seperti berhenti
berdetak. Kurasakan nafasaku mulai tersengal. Oh, mereka tidak melihatku. Aku
juga tak ingin mereka melihatku saat ini. Kalau begitu aku harus pergi. Nafasku
benar-benar terasa sesak berada di rumah
yang panas ini. Benar-benar panas dan membuatku mandi keringat.
Bergegas aku keluar rumah. Kotak coklat kulempar entah ke mana. Aku harus segera
enyah dari sini. Harus! Aku menuju tempat mobilku diparkir, dan mulai
mengemudikannya. Aku tak tahu mau pergi ke mana. Hatiku benar-benar kalut.
Tetapi aku harus berpikir. Aku harus
mendapat penjelasan tentang semua ini.
Aku tak tahu apakah aku membenci Sisi, Aldo, atau bahkan
membenci diriku sendiri. Kurasa Sisi harus berhenti dari pekerjaannya yang
sekarang. Aku tak akan membiarkannya menerima telepon-telepon dari Aldo di
ruangan yang sama dengan tempat kuberada.
Aku harus memecatnya. Atau mungkin Aldo pun harus kuusir
jauh-jauh dari kedekatannya denganku selama ini. Lebih baik kami putus. Lebih
baik kami bubaran saja.Ya, ya, itulah yang akan kulakukan dan semua masalah ini
akan beres. Atau...
Tidak! Jangan sampai memikirkan kemungkinan ketiga. Yaitu
bahwa akulah yang harus berhenti dari pekerjaanku. Aku harus mampu mengusir
semua kesibukanku, memecat belenggu waktu kerjaku. Lalu kembali utuh bersama
Aldo. Melepaskan rantai besi di kaki Sisi, membiarkannya lepas dari
cengkramanku.
Apakah waktu bisa kuulangi dan kuperbaiki supaya
peristiwa hari ini tak pernah terjadi? Bagaimana jadinya kalau aku berhenti
bekerja dari dulu-dulu? Ah, aku tak mampu berpikir lagi. Aku harus pergi ke
pulauku yang indah. Pulau terpencilku, yang lebih elok dari Bali, lebih liar
dari Papua, lebih eksotik dari kepulauan seribu.
“Mbak, Mbak Aby... Udah jam setengah dua, Mbak.”
Eh, Sisi? Mana Aldo? Aku sudah bukan di pulauku lagi
rupanya. Aku di kantor. Aku kan, harus berhenti dari pekerjaanku sekarang. Ya,
aku sudah memutuskannya.
“Sisi,” suaraku mulai serak. “Kamu setuju nggak kalau
kita berdua ambil cuti sebulan? Nanti saya pikirkan apa saya akan melanjutkan
pekerjaan ini atau mencari pekerjaan lain saja, sementara tugas-tugas ini saya
serahkan kepada orang lain. Bisa padamu atau siapa saja.”
“Mbak ini ngomong apa, sih? Cuti? Berhenti kerja? Mbak
ngelantur, ah.”
“Enggak, saya serius. Pokoknya mulai sekarang saya
berhenti mengatur-ngatur hidupmu. Kamu bebas.”
Sisi melongo tak percaya. Atau tak mengerti?
Aku
tersenyum kaku. “Udah deh, sekarang kita pulang aja. Semua laporan itu lupakan
saja dulu. Masih ada esok hari. Tapi kalau mau cuti, kita bisa atur orang lain
yang mengerjakannya sementara.”
Andrisi menatapku heran. Mungkin dia pikir aku belum
betul-betul bangun dari tidurku. Kamu salah, Andrisi! Aku sudah bangun dari
tidur panjangku.
Kriiing...!
Andrisi hendak bergegas mengangkat gagang telepon, tapi
aku melarangnya. “Biar, biar saya yang jawab langsung. Kamu siap-siaplah pulang.”
Dia kelihatan mau membantah, tapi perintahku tak pernah
dilawannya.
Kriiing...!
“Ya...”
“Alo sayang, bosmu udah pulang belum, sih? Dia memang
nggak berperasaan menyiksa kamu lembur sampe jam segini. Kamu tabah aja ya. Aku
tetep sayang sama kamu. Jangan sedih, ya. Sekarang aku mau bicara sama dia,
supaya dia nggak curiga...” kepalaku mendadak pusing. Kurasa aku akan pingsan.
Itu suara Reinaldo!
Aldo-ku. Tapi suaranya begitu mesra mengira ia bicara
pada Andrisi! (*)
*****
Bogor, Juni 2012