Selasa, 03 Juli 2012

CERPEN: Putriku Tersayang


PUTRIKU TERSAYANG
OLEH: IIN SOLIHIN


source: google.co.id
          Lagu Californication itu akhirnya berakhir. Entah benar atau tidak penyanyi itu menyebutkan kata californication seperti yang kutangkap. Aku  tidak tahu pasti. Bahasa Inggrisku tidak begitu baik. Tetapi  yang jelas aku tahu satu hal, yaitu bahwa anak-anak muda sekarang sudah tak mau lagi mengikuti “aliran” orang tuanya. Tidak ada “aliran” keturunan. Mereka memilih alirannya sendiri.
          Contohnya Californication ini. Aliran semacam ini kan sama sekali tidak tersentuh oleh aliran tua, seperti aku. Yah… aku tidak setua itu, sih. Rambutku masih sanggup mengikuti trend di majalah-majalah. Namun mengingat Kayla, putriku, aku merasa sangat tua jadinya. Begitu jauh jarak kami berdua. Aku tidak mengerti jalan pikirannya lagi. Aku tidak tau hal-hal yang dibicarakan. Aku bahkan tidak tertawa dengan lelucon-leluconnya yang menurutku tidak pantas keluar dari mulut mungilnya.
          “Ibu, mau lewat atas apa bawah?” si Yono mengagetkanku. Kesal juga karena dia tidak pernah punya inisiatif untuk memutuskan sesuatu sendiri. Seperti sekarang, dia menggangguku hanya untuk menanyakan apakah mobil kami akan masuk tol atau tidak. Di sore seperti ini mestinya dia bisa memperkirakan dong, yang baik untuk majikannya sekarang lewat mana. Mana yang lebih cepat, tidak macet, dan sebagainya.
          “Bu…”
          “Lewat atas!” hardikku agak kesal.
          Huh! Aku capek sekali. Tidak tahu apakah sekaarang suamiku ada di rumah bersama Kayla. Sebagai wartawan freelance, dia  memang tidak pernah bisa dipastikan waktu kerjanya. Tetapi aku benar-benar berharap dia ada di rumah malam ini. Aku mencemaskan putri tunggalku. Seandainya dia tahu betapa aku selalu memikirkannya. Aku yakin dia tak pernah menyadari hal itu. Makanya selama ini ia selalu menuntut ini itu seolah-olah aku sewaktu-waktu akan membiarkan ia diadopsi orang lain.
          Nah, radio anak muda ini mulai berisik lagi. Dua penyiarnya, satu laki-laki dan satunya lagi perempuan sedang tertawa-tawa membicarakan sesuatu. Aku baru saja  hendak menyuruh Yono mengganti saluran ketika masuk suara penelepon seorang perempuan ke radio itu.
          “X-radio.”
          “Halo, X-radio.”
          “Yak, siapa nih?”
          “Eng…Rere.”
          “Hai Re, lo masih sekolah?”
          “Iya.”
          “Oke deh Re. Mo curhat, nih?”
          Rere. Model yang pas untuk mewakili anakku Kayla. Inilah saatnya aku belajar mengerti anakku. Rupanya radiolah tempat  curhat remaja-remaja bermasalah itu.
          “Yeah…gitu deh.”
          “Oke, langsung aja deh ceritanya.”
          “Eng… mulai darimana ya…,” terdengar ragu suara gadis itu. “Eng… oke deh. Gini, gue…gue... hamil.”
          “Hahh?!”
          Backsound lagu yang entah judulnya apa dari Britney Spears yang menghentak-hentak itu mengecil.
          “Gimana, gimana?” suara penyiar perempuan itu seperti tak sabaran.
          “Iya, gue hamil sekarang. Udah dua bulan,” suara gadis, maksudku yang bukan gadis lagi itu melemah.
          “Oh! Coba deh cerita ke kita-kita semua di sini. Mungkin juga pendengar di rumah ada yang ngalamin hal yang sama. Eng..., tunggu dulu, ini maksudnya elo masalahnya sekarang hamil, tapi by accident, gitu?”
          “Eng, iya.”
          “Rere, umur lo berapa?”
          “Tujuh belas,” suara gadis itu seperti tercekik.
          “Oke, trus, trus?”
          “Yeah…waktu itu nggak sengaja. Cowok gue…”
          “Oke, oke…yah… namanya juga khilaf kali ya…trus gimana?”
          “Iya…, sekarang gue bingung banget....”
          Aku seperti pernah mendengar suara itu. Sepertinya  sangat akrab di telingaku.
          “Gue tadi nemuin dia di sekolah. Gue bilang sama dia kalo gue hamil.”
          “Trus?”
          “Trusnya, dia marah-marah gitu deh, sama gue. Dia bilang gue yang salah. Dia bilang waktu itu dia sebenarnya gak niat. Katanya, itu semua gara-gara gue,” tangis Rere tak tertahan lagi. Dan kedua penyiar itu berusaha menenangkannya.
          Sekali lagi aku merasa akrab dengan suara tangis itu.
          “Dia bilang lagi, bisa jadi…bisa jadi…itu bukan anaknya… Gue…gue…nggak tahan sakitnya. Gue tampar dia keras-keras. Gue….”
          Sesaat aku seperti mendengar sebuah sandiwara radio. Baru kemudian aku sadar ini realita. Seorang gadis, muda belia, terperosok dalam lubang maha gelap yang akan mengubah seluruh hidupnya.
          “Gue nggak tau mesti gimana lagi….”
          “Iya. Oke, gini aja deh. Kayaknya masalah lo emang berat banget. Orangtua elo gimana? Mereka udah tau, kan?”
          “Belon. Gue belon ngasih tau mereka,” suara Rere berat bergetar. “Gue nggak bisa. Gue nggak tega...”
          “Eng…gini lho Re, gue pikir mungkin orangtua elo mesti tau deh. Karena kan ini masalahnya nggak sepele. Lo coba deh jelasin ke mereka…”
          Klik. Tut…tut…tut…tut…
          Telepon ditutup.
          Aku merasakan sesuatu di dalam dadaku. Seperti perasaan ketika aku sendirian di rumah, lalu mendengar gedoran keras si pintu depan. Seperti perasaan takut jatuh di ketinggian sekian ratus meter dari gedung kembar Menara Petronas yang pernah kukunjungi beberapa bulan lalu. Seperti perasaan takut yang amat sangat ketika memikirkan bahwa besok semua orang di kantor akan membenciku. 
          Perasaan ini begitu saja muncul ketika aku mulai mengenali gelagat menutup telepon tadi. Putriku Kayla melakukan hal itu ketika aku memintanya melakukan hal yang tidak dia sukai. Putriku Kayla mendengarkan radio ini setiap hari. Aku ingat beberapa gaya bicara para penyiar ditirukannya tanpa sadar. Putriku Kayla akan menelepon radio ini jika sedang bermasalah dan orangtuanya tak ada di sisinya. Putriku Kayla memiliki suara seperti gadis penelepon tadi. Memiliki nada tangisnya, memiliki gaya bicara itu.
          Tapi putriku Kayla tidak mungkin hamil! Dia tidak mungkin melakukan hal segila itu!
          Tak terasa air mataku meleleh, membasahi pipi. Dan aku benar-benar dibuat sibuk menghapusnya dengan tissue. Aku tak berani membayangkan Kayla…hamil. Dia kan masih terlalu muda. Aku akan lebih baik membunuh siapapun laki-laki yang melakukannya pada anakku, dari pada menyuruhnya mengawini Kayla.
          Aku pernah kehilangan dompet di jalan tanpa sepeserpun uang di tas. Rumahku pernah dirampok habis-habisan ketika semua orang di rumah tidur lelap dan baru esok paginya menyadari barang berharga kami telah raib semua. Aku pernah di paksa untuk kehilangan sesuatu yang aku tidak ingin kehilangannya. Aku pernah dipermalukan satpam sebuah swalayan karena diduga mencuri sebuah batu batere, padahal faktanya  tidak.
          Tapi Kayla…nggak mungkin. Dan anak muda itu, Bondan, yang tidak jelas juntrungannya sering mengajak putriku keluar hingga larut malam. Sementara jika  kutanya Kayla perihal tersebut, dia hanya melengos mengisyaratkan itu bukan urusanku. Aku memang setiap hari meninggalkannya sendirian di rumah. Setiap hari mengabaikan keluh kesahnya dengan tidak di sisinya ketika dia sedang ingin berkeluh kesah. Mungkin aku memang tidak berhak mengatur-atur hidupnya lagi karena toh selama ini aku tidak terlibat.
          Akan tetapi kalau dia hamil, merusak dirinya sendiri dan keluarga, tentu saja itu urusanku. Karena selama ini akulah penyebab dia rusak. Akulah yang patut disalahkan kalau nama baik keluarga ini hancur lebur.
          Dadaku sesak dan nafasku seperti tercekat di tenggorokan . Aku tak mengenali lagi lagu yang di putar di radio itu, tapi kemudian si gadis hamil tadi menelepon lagi.
          “Halo Rere…wah, tadi keputus ya…”
          “Iya…nggak tau…. Sinyalnya kali jelek.”
          “Ini kamu lagi di mana nih?”
          “Di jalan.”
          Aku merasa perlu teryakinkan.
          “Yono, kamu kenal nggak ini suara siapa?”
          “Suara?”
          “Iya, yang di radio…”
          “ Oh, iya Bu, seperti suara Non Kayla, tapi bukan, ah.”
          Aku merasa betul-betul lemas. Iya, ini suara Kayla.
          Ketika mobil akhirnya berhenti dan suara mesinnya tidak menderu lagi, yang terdengar hanya isakan tangisku yang meluap-luap tak tertahankan.
          “Ibu, ibu…,” aku mendengar Yono memanggilku.
          “Iya, iya…,” dengan sekuat tenaga aku menghentikan tangisku. Namun yang berhenti hanya isakan, sementara air mataku terus mengucur.
          Dengan langkah kaki yang terasa seberat menyeret rantai besi aku melangkah keluar garasi dan masuk rumah. Kepalaku benar-benar sakit. Seperti berputar-putar, tak tahu persis apa yang harus kulakukan kini. Akhirnya aku menuju kamar putriku, yang dari jauh terlihat gelap.
          Aku masuk perlahan dan mendapatinya berbaring nyenyak di keremangan lampu tidur. Putri kesayanganku itu tidur dengan radio masih menyala. Suara si remaja hamil bernama Rere itu masih mengudara dengan sejuta keluh kesah.
          Aku duduk di sisi tempat tidur Kayla dan membelai-belai rambut halusnya. Kini hatiku benar-benar terasa berat untuk pergi ke kantor esok pagi.

*****
Bogor, Juni 2012
iin solihin @bakso malang citra, bogor

Tidak ada komentar:

Posting Komentar