PUTRIKU
TERSAYANG
OLEH: IIN SOLIHIN
 |
source: google.co.id |
Lagu Californication itu
akhirnya berakhir. Entah benar atau tidak penyanyi itu menyebutkan kata californication seperti yang kutangkap.
Aku tidak tahu pasti. Bahasa Inggrisku
tidak begitu baik. Tetapi yang jelas aku
tahu satu hal, yaitu bahwa anak-anak muda sekarang sudah tak mau lagi mengikuti
“aliran” orang tuanya. Tidak ada “aliran” keturunan. Mereka memilih alirannya
sendiri.
Contohnya Californication ini. Aliran semacam ini kan sama sekali tidak
tersentuh oleh aliran tua, seperti aku. Yah… aku tidak setua itu, sih. Rambutku
masih sanggup mengikuti trend di
majalah-majalah. Namun mengingat Kayla, putriku, aku merasa sangat tua jadinya.
Begitu jauh jarak kami berdua. Aku tidak mengerti jalan pikirannya lagi. Aku tidak
tau hal-hal yang dibicarakan. Aku bahkan tidak tertawa dengan
lelucon-leluconnya yang menurutku tidak pantas keluar dari mulut mungilnya.
“Ibu, mau lewat atas apa bawah?” si
Yono mengagetkanku. Kesal juga karena dia tidak pernah punya inisiatif untuk
memutuskan sesuatu sendiri. Seperti sekarang, dia menggangguku hanya untuk
menanyakan apakah mobil kami akan masuk tol atau tidak. Di sore seperti ini
mestinya dia bisa memperkirakan dong, yang baik untuk majikannya sekarang lewat
mana. Mana yang lebih cepat, tidak macet, dan sebagainya.
“Bu…”
“Lewat atas!” hardikku agak kesal.
Huh!
Aku capek sekali. Tidak tahu apakah sekaarang suamiku ada di rumah bersama
Kayla. Sebagai wartawan freelance,
dia memang tidak pernah bisa dipastikan
waktu kerjanya. Tetapi aku benar-benar berharap dia ada di rumah malam ini. Aku
mencemaskan putri tunggalku. Seandainya dia tahu betapa aku selalu
memikirkannya. Aku yakin dia tak pernah menyadari hal itu. Makanya selama ini
ia selalu menuntut ini itu seolah-olah aku sewaktu-waktu akan membiarkan ia
diadopsi orang lain.
Nah,
radio anak muda ini mulai berisik lagi. Dua penyiarnya, satu laki-laki dan
satunya lagi perempuan sedang tertawa-tawa membicarakan sesuatu. Aku baru
saja hendak menyuruh Yono mengganti
saluran ketika masuk suara penelepon seorang perempuan ke radio itu.
“X-radio.”
“Halo, X-radio.”
“Yak, siapa nih?”
“Eng…Rere.”
“Hai Re, lo masih sekolah?”
“Iya.”
“Oke deh Re. Mo curhat, nih?”
Rere. Model yang pas untuk mewakili
anakku Kayla. Inilah saatnya aku belajar mengerti anakku. Rupanya radiolah
tempat curhat remaja-remaja bermasalah itu.
“Yeah…gitu deh.”
“Oke, langsung aja deh ceritanya.”
“Eng… mulai darimana ya…,” terdengar
ragu suara gadis itu. “Eng… oke deh. Gini, gue…gue... hamil.”
“Hahh?!”
Backsound lagu
yang entah judulnya apa dari Britney Spears yang menghentak-hentak itu
mengecil.
“Gimana, gimana?” suara penyiar
perempuan itu seperti tak sabaran.
“Iya, gue hamil sekarang. Udah dua
bulan,” suara gadis, maksudku yang bukan gadis lagi itu melemah.
“Oh! Coba deh cerita ke kita-kita
semua di sini. Mungkin juga pendengar di rumah ada yang ngalamin hal yang sama.
Eng..., tunggu dulu, ini maksudnya elo masalahnya sekarang hamil, tapi by accident, gitu?”
“Eng, iya.”
“Rere, umur lo berapa?”
“Tujuh belas,” suara gadis itu seperti
tercekik.
“Oke, trus, trus?”
“Yeah…waktu itu nggak sengaja. Cowok
gue…”
“Oke, oke…yah… namanya juga khilaf
kali ya…trus gimana?”
“Iya…, sekarang gue bingung
banget....”
Aku seperti pernah mendengar suara
itu. Sepertinya sangat akrab di
telingaku.
“Gue tadi nemuin dia di sekolah. Gue
bilang sama dia kalo gue hamil.”
“Trus?”
“Trusnya, dia marah-marah gitu deh,
sama gue. Dia bilang gue yang salah. Dia bilang waktu itu dia sebenarnya gak
niat. Katanya, itu semua gara-gara gue,” tangis Rere tak tertahan lagi. Dan
kedua penyiar itu berusaha menenangkannya.
Sekali lagi aku merasa akrab dengan
suara tangis itu.
“Dia bilang lagi, bisa jadi…bisa
jadi…itu bukan anaknya… Gue…gue…nggak tahan sakitnya. Gue tampar dia
keras-keras. Gue….”
Sesaat aku seperti mendengar sebuah
sandiwara radio. Baru kemudian aku sadar ini realita. Seorang gadis, muda
belia, terperosok dalam lubang maha gelap yang akan mengubah seluruh hidupnya.
“Gue nggak tau mesti gimana lagi….”
“Iya. Oke, gini aja deh. Kayaknya
masalah lo emang berat banget. Orangtua elo gimana? Mereka udah tau, kan?”
“Belon. Gue belon ngasih tau mereka,”
suara Rere berat bergetar. “Gue nggak bisa. Gue nggak tega...”
“Eng…gini lho Re, gue pikir mungkin
orangtua elo mesti tau deh. Karena kan ini masalahnya nggak sepele. Lo coba deh
jelasin ke mereka…”
Klik. Tut…tut…tut…tut…
Telepon ditutup.
Aku merasakan sesuatu di dalam dadaku.
Seperti perasaan ketika aku sendirian di rumah, lalu mendengar gedoran keras si
pintu depan. Seperti perasaan takut jatuh di ketinggian sekian ratus meter dari
gedung kembar Menara Petronas yang pernah kukunjungi beberapa bulan lalu.
Seperti perasaan takut yang amat sangat ketika memikirkan bahwa besok semua
orang di kantor akan membenciku.
Perasaan ini begitu saja muncul ketika
aku mulai mengenali gelagat menutup telepon tadi. Putriku Kayla melakukan hal
itu ketika aku memintanya melakukan hal yang tidak dia sukai. Putriku Kayla
mendengarkan radio ini setiap hari. Aku ingat beberapa gaya bicara para penyiar
ditirukannya tanpa sadar. Putriku Kayla akan menelepon radio ini jika sedang
bermasalah dan orangtuanya tak ada di sisinya. Putriku Kayla memiliki suara
seperti gadis penelepon tadi. Memiliki nada tangisnya, memiliki gaya bicara
itu.
Tapi putriku Kayla tidak mungkin
hamil! Dia tidak mungkin melakukan hal segila itu!
Tak terasa air mataku meleleh,
membasahi pipi. Dan aku benar-benar dibuat sibuk menghapusnya dengan tissue. Aku tak berani membayangkan
Kayla…hamil. Dia kan masih terlalu muda. Aku akan lebih baik membunuh siapapun
laki-laki yang melakukannya pada anakku, dari pada menyuruhnya mengawini Kayla.
Aku pernah kehilangan dompet di jalan
tanpa sepeserpun uang di tas. Rumahku pernah dirampok habis-habisan ketika
semua orang di rumah tidur lelap dan baru esok paginya menyadari barang
berharga kami telah raib semua. Aku pernah di paksa untuk kehilangan sesuatu
yang aku tidak ingin kehilangannya. Aku pernah dipermalukan satpam sebuah
swalayan karena diduga mencuri sebuah batu batere, padahal faktanya tidak.
Tapi Kayla…nggak mungkin. Dan anak muda itu, Bondan, yang tidak jelas
juntrungannya sering mengajak putriku keluar hingga larut malam. Sementara
jika kutanya Kayla perihal tersebut, dia
hanya melengos mengisyaratkan itu bukan urusanku. Aku memang setiap hari
meninggalkannya sendirian di rumah. Setiap hari mengabaikan keluh kesahnya
dengan tidak di sisinya ketika dia sedang ingin berkeluh kesah. Mungkin aku
memang tidak berhak mengatur-atur hidupnya lagi karena toh selama ini aku tidak terlibat.
Akan tetapi kalau dia hamil, merusak
dirinya sendiri dan keluarga, tentu saja itu urusanku. Karena selama ini akulah
penyebab dia rusak. Akulah yang patut disalahkan kalau nama baik keluarga ini
hancur lebur.
Dadaku sesak dan nafasku seperti
tercekat di tenggorokan . Aku tak mengenali lagi lagu yang di putar di radio
itu, tapi kemudian si gadis hamil tadi menelepon lagi.
“Halo Rere…wah, tadi keputus ya…”
“Iya…nggak tau…. Sinyalnya kali
jelek.”
“Ini kamu lagi di mana nih?”
“Di jalan.”
Aku merasa perlu teryakinkan.
“Yono, kamu kenal nggak ini suara
siapa?”
“Suara?”
“Iya, yang di radio…”
“ Oh, iya Bu, seperti suara Non Kayla,
tapi bukan, ah.”
Aku merasa betul-betul lemas. Iya, ini
suara Kayla.
Ketika mobil akhirnya berhenti dan
suara mesinnya tidak menderu lagi, yang terdengar hanya isakan tangisku yang
meluap-luap tak tertahankan.
“Ibu, ibu…,” aku mendengar Yono
memanggilku.
“Iya, iya…,” dengan sekuat tenaga aku
menghentikan tangisku. Namun yang berhenti hanya isakan, sementara air mataku
terus mengucur.
Dengan langkah kaki yang terasa
seberat menyeret rantai besi aku melangkah keluar garasi dan masuk rumah.
Kepalaku benar-benar sakit. Seperti berputar-putar, tak tahu persis apa yang
harus kulakukan kini. Akhirnya aku menuju kamar putriku, yang dari jauh
terlihat gelap.
Aku masuk perlahan dan mendapatinya
berbaring nyenyak di keremangan lampu tidur. Putri kesayanganku itu tidur
dengan radio masih menyala. Suara si remaja hamil bernama Rere itu masih
mengudara dengan sejuta keluh kesah.
Aku duduk di sisi tempat tidur Kayla
dan membelai-belai rambut halusnya. Kini hatiku benar-benar terasa berat untuk
pergi ke kantor esok pagi.
*****
Bogor,
Juni 2012
iin solihin @bakso malang citra, bogor